“Jalan Terjal Pemenuhan Hak Pendidikan dan Pelindungan Anak Indonesia”
![]() |
Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd (Komisisoner KPAI) |
Setiap Anak sebagaimana amanah Konvensi Hak Anak
(KHA) yang telah diratifikasi Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden
No. 36 Tahun 1990, memiliki hak yang harus dipenuhi. Salah satunya adalah
pemenuhan hak pendidikan, serta perlindungan khusus pada satuan pendidikan.
Selain itu, UUD 1945 terkait pendidikan anak, telah termaktub pada Pasal 31,
menyatakan bahwa setiap warga negara, termasuk anak-anak, berhak mendapatkan
pendidikan. Negara wajib menyediakan pendidikan dasar bagi setiap warga
negara dan membiayainya. Pasal 31 juga menekankan pentingnya sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan, akhlak mulia, dan mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Sebagai turunan UUD ’45 telah diterbitkan UU No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 5 menyebutkan bahwa
“Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu”. Kedua regulasi tersebut, setidaknya menjawab kewajiban negara untuk
menjamin akses dan mutu pendidikan bagi seluruh anak Indonesia, termasukan
didalamnya pendidikan dengan layanan khusus, pendidikan khusus, serta
kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.
Selain itu, kewajiban perlindungan bagi anak
Indonesia pada satuan pendidikan, juga telah diatur dalam Pasal 54
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Pasal ini menyatakan bahwa anak di
satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis,
kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya. Artinya satuan pendidikan tidak
sekedar menjalankan mandat pengajaran dan pembelajaran, tapi juga mandat
perlindungan. Namun sampai saat ini masih banyak pekerjaan rumah yang belum
tuntas terkait pemenuhan hak pendidikan dan perlindungan anak pada satuan
pendidikan.
Anak Tidak Sekolah
Data Susesnas BPS yang diolah dari beberapa tahun
terahir menunjukkan masih ada 4,2 Juta Anak Tidak Sekolah (ATS) usia 6 – 18
tahun, terdiri; 0,5 Juta Anak tidak pernah sekolah sama sekali, 0,5 Juta Anak
Putus Sekolah, 3,2 Anak sudah tidak bersekolah sebelum-sebelumnya. Faktor
penyebab ATS adalah ekonomi, sosial budaya, akses dan layanan pendidikan yang
terbatas, korban kekerasan, Anak Berhadapan Hukum, Perkawinan Anak, Anak
Disabilitas, Kecanduan Gajet/Game, Anak Korban Narkoba, Anak korban kebijakan
dikelurkan dari sekolah, serta faktor lainya.
Hasil pengawasan KPAI menunjukan bahwa; Pertama,
Pemerintah Pusat dan Daerah belum memiliki strategi yang solutif untuk
menangani anak tidak sekolah, terutama pada faktor kendala non ekonomi.
Misalkan anak korban kekerasan, kecanduan game, dan sosial budaya keluarga,
tidak bisa diselesaikan dengan pemberian KIP, beasiswa atau bantuan lainya, dia
harus dipulihkan psikisnya untuk berani kembali ke sekolah, Anak yang sedang
menjalani pembinaan di LPKA, perlu menghadirkan satuan pendidikan filial, atau
pendidikan non formal di dalam LPKA, begitu pula pendidikan anak korban narkoba
yang sedang mengikuti penyembuhan di Loka Rehabilitasi BNN, serta situasi
lainya.
Kedua, Pemerintah Daerah belum menindaklanjuti
secara optimal dan berkelanjutan menangani anak putus sekolah yang tercatat
dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik) dan Emis, apalagi data yang tidak
tercatat, yang jumlahnya lebih banyak. Sebenarnya berangkat dari data ini,
profil anak dan faktor utama penyebab putus sekolah bisa dipetakan, lalu
ditentukan intervensi yang sesuai kebutuhan anak, dijangkau dengan melibatkan dinas
terkait anak, serta langkah spesifik, solutif, dan berkelanjutan.
Ketiga, Sebagaimana data pengaduan di KPAI 3 tahun
terakhir, masih terdapat kebijakan satuan pendidikan yang mengeluarkan anak
didik, karena situasi tertentu, seperti: anak pelaku kekerasan, anak
berperilaku menyimpang, anak korban kekerasan seksual, anak berhadapan dengan
hukum, anak tidak membayar SPP, dan atau biaya uang pangkal dan asrama, serta
situasi lainnya.
Keempat, Terdapat Anak Bekebutuhan khusus yang
sedang menjalankan pembinaan dan pendampingan di Lembaga Kesejahteraan Sosial
Anak (LKSA) di bawah binaan Kementerian Sosial tidak terdata dalam Dapodik
secara nasional, sehingga dia akan tercatat sebagai anak yang tidak pernah atau
putus sekolah. Anak tersebut berpeluang tidak mendapatkan bantuan pembiayaan
pendidikan dari pemerintah, seperti BOS, dan lainnya.
Kelima, Anak Disabilitas masih ditemukan ada yang
belum pernah sekolah, serta sudah sekolah tapi rawan putus sekolah, karena
keterbatasan informasi layanan pendidikan, keterbatasan layanan pembelajaran,
keterbatas SDM Guru yang memiliki kompetensi khusus, serta keterbatasan sarana
pra sarana yang dibutuhkan sesuai jenis ke-disabilitasannya.
Keenam, Akses dan Sebaran Satuan Pendidikan yang
belum merata, pada daerah tertentu anak putus sekolah karena jaraknya telalu
jauh dari sekolah. Pengawasan KPAI di Cianjur, Jawa Barat ditemukan Sekolah
Dasar yang dalam satu Desa antar Dusun hingga 3 s.d 4 KM, sekolah SMP dan SMA
di Cianjur Selatan ada yang harus ditempuh dengan ojek berbiaya 150 ribu sekali
berangkat, di Kab. Bone Sulawesi Selatan, terdapat 1 Dusun hanya memiliki SD
hanya sampai kelas 5, untuk meneruskan ke kelas 6 harus pindah ke Desa lain
dengan jarak tempuh 5 KM lebih.
Mutu dan Tujuan Pendidikan Belum Merata dan Ajeg
Tercapai
Mendapatkan layanan Pendidikan bermutu adalah hak
setiap anak Indonesia, sebagaimana amanah Undang-undang. Hanya dengan
pendidikan bermutu tujuan pendidikan akan tercapai dengan baik. Mutu dan tujuan
pendidikan akan tercapai, jika anak Indonesia mendapatkan pembelajaran yang
berkualitas, responsif dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi, relevan
dengan lebutuhan hidup anak, serta nampak karakter dan akhlak mulia pada
pribadi setiap anak Indonesia.
Namun realitasnya, Indonesia menempati peringkat
ke-68 dalam hal kualitas pendidikan berdasarkan hasil PISA 2022, yang dirilis
pada 5 Desember 2023. Sementara itu, berdasarkan pemeringkatan oleh
Worldtop20.org pada kuartal pertama 2023, Indonesia berada di peringkat ke-67
dari 203 negara. Capaian literasi dan numerasi pendidikan di
Indonesia masih belum merata, dengan sekitar 35% siswa belum mencapai
kemampuan minimum.
Pada kondisi lain, tujuan pendidikan yang
digariskan seharusnya mampu membentuk kepribadian peserta didik menjadi manusia
yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab. Namun realitanya, ketahanan (resiliensi) anak untuk
memunculkan kontrol diri (selfcontrol) pada konsistensi pada nilai baik
masih belum tercapai secara maksimal, sehingga rentan mengalami penurunan
kesehatan mental, rentan terpengaruh lingkungan negatif, serta daya survival
anak dalam kehidupan masih dalam menjadi tantangan.
Fokus Anggaran Pendidikan untuk Anak
Berdasarkan mandatory spending
anggaran pendidikan, Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengalokasikan
setidaknya 20% dari APBN dan APBD. sesuai dengan amanat UUD 1945 Pasal 31 ayat
(4). Alokasi ini bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional. Anggaran pendidikan mengalami peningkatan yang
signifikan pada 10 tahun terakhir, yaitu 69% dari Rp. 390,3 triliun pada tahun
2015 menjadi Rp. 660,8 triliun pada tahun 2024, sedangkan pada APBN 2025,
anggaran pendidikan mencapai Rp. 724,3 triliun.
Namun realitanya, komponan anggaran pendidikan
nasional tidak hanya dikelolah oleh kementerian yang memiliki tugas dan fungsi pelayanan
pendidikan secara langsung, tapi juga diberikan kepada kementerian/lembaga
negara lain yang tidak memiliki tusi langsung terkait pelayanan pendidikan.
Pada akhirnya 20% anggaran pendidikan nasional tidak maksimal berdampak kepada
anak secara langsung. Dengan alokasi dana pendidikan pada K/L yang tidak
memiliki tusi langsung terkait layanan pendidikan, maka bisa jadi komponen
belanja anggaran untuk dukungan manajerial, perawatan, pengadaan barang dan
jasa akan terulang pada setiap K/L, sehingga dana pendidikan yang seharusnya
dapat maksimal untuk pemenuhan hak pendidikan yang bermutu, serta berdampak
langsung pada anak Indonesia tidak terwujud secara utuh.
Pada situasi lain, hasil pengawasan KPAI mendapati
tidak semua pemerintah daerah mengalokasikan 20% APBD sebagaimana amanah
undang-undang. KPAI juga menemukan Belanja BOS pada satuan pendidikan yang
banyak fokus pada dukungan manajemen dan belanja barang dan jasa, yang tidak
berdampak lansung terhadap anak. Bahkan data pengaduan KPAI mecatat adanya
oknum kepala sekolah menyelewengkan dana Bos, alias Korupsi.
Perlindungan Anak dari Kekerasan
Kasus kekerasan pada satuan pendidikan masih terus
terjadi. Pengawasan KPAI menunjukkan kasus kekerasan pada anak ibarat fenomena
“gunung es”, satu kasus nampak, yang lain masih belum terungkap, satu kasus
tertangani, masih banyak lagi yang terabaikan. Tahun 2023, KPAI menerima
laporan pengaduan sebanyak 3877 kasus, dari sejumlah pengaduan tersebut
kekerasan pada Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya dan Agama sebanyak 329
kasus, dengan tiga aduan tertinggi; anak korban bullying/perundungan di satuan
pendidikan (tanpa LP), anak korban kebijakan, anak korban pemenuhan hak
fasilitas pendidikan. Sedangkan pada klister perlindungan khusus anak; data
pengaduan anak korban kekerasan fisik/psikis sebanyak, 137 kasus anak korban
perundungan di satuan pendidikan (tanpa LP) dan 411 kasus anak korban kekerasan
fisik dan/atau psikis serta 3 kasus anak pelaku perundungan di satuan
pendidikan (tanpa LP) dan 158 anak berhadapan dengan hukum (sebagai pelaku).
Sedangkan data pegaduan anak korban kekerasan seksual selama 2023, yang masuk
dalam pengaduan KPAI mencapai 358 kasus, 10% terjadi di satuan pendidikan.
Situasi tersebut terulang pada data pengaduan tahun 2024, dari 2057 kasus, 10%
s.d 15% terjadi pada satuan pendidikan, baik pelanggaran terhadap pemenuhan hak
pendidikan, maupun perlindungan khusus pada satuan pendidikan.
Data pengaduan KPAI tekait hubungan pelaku dan
korban, menunjukkan bahwa pelaku kekerasan anak justru dilakukan oleh orang
terdekat, mulai dari ayah kandung, ibu kandung, pihak satuan pendndikan,
tetangga, aparat penegak hukum, teman, dan lainnya. Data pengawasan KPAI juga
menunjukkan dampak kekarasan pada satuan pendidikan semakin memperihatinkan,
tidak hanya luka fisik/psikis, bahkan korban hingga meninggal dunia dan atau
mengakhiri hidup. Ironi satuan
pendidikan harusnya dapat memberikan perlindungan, rasa aman, nyaman dan
menyenangkan, justru terjadi kekerasan didalamnya. Santuan pendidikan harusnya
dapat menjadi rumah kedua, memperkuat fungsi pengasuhan utama orang tua, serta
mampu menumbuhkan kemandirian dan ketahanan anak untuk melindungi diri sendiri.
Rekomendasi
Berdasarkan kondisi tersebut, KPAI berpandangan bahwa
pendidikan adalah instrument utama untuk mewujudkan bonus demografi sebagai
generasi emas 2045 yang berkualitas dan berdaya saing, Maka pemerintah harus
berkomitmen menjalankan amanah Undang-undang, sebagai upaya pemenuhan hak
pendidikan dan pelindungan bagi anak Indonesia. Untuk itu, berdasarkan hasil
pengawasan, tela’ah, kajian, KPAI merekomendasikan:
1.
Untuk menangani Anak Tidak Sekolah (ATS) Pemerintah
Pusat dan Daerah perlu berangkat dari satu data ATS, serta analisa kompleksitas
faktor utama penyebab ATS, dengan strategi dan sinergi litas K/L, serta lintas
organisasi pemerintah daerah terkait.
2.
Pemerintah Pusat dan Daerah berkomitmen anggaran
20% Pendidikan harus sepenuhnya berdampak lansung kepada tumbuh kembang dan
kepentingan terbaik bagi anak.
3.
Pergeseran nilai dan karakter pada anak, hingga
berdampak pada menurunnya kesehatan mental, keterlambatan kemandirian dan
reseliensi pada keperibadian anak, perlu mendapatkan perhatian serius dari
Pemerintah Pusat dan Daerah dengan langkah penguatan kurikulum dan pengajaran
berbasis karakter.
4. Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar melakukan
pemetaan ulang berbasis verifikasi lapangan terkait akses dan mutu pendidikan
bagi semua, guna memastikan sebaran satuan pendidikan dapat memenuhi hak
pendidikan anak Indonesia. Hasil pemetaan tersebut dapat dijadikan acuan untuk
membuka unit sekolah baru, regrouping, atau pendidikan satu atap (SATAP);
5. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah dan
Kementerian Agama agar memastikan satuan pendidikan tidak mengeluarkan peserta
didik pelaku atau korban kekerasan, Anak Berkonfik Hukum, Anak Korban Narkoba,
serta Anak Korban perilaku menyimpang lainnya.
6. Pemerintah dan Pemerintah Daerah agar memastikan akses
pendidikan untuk anak Disabilitas, serta anak berkebutuhan khusus lainnya,
dengan dukungan SDM dan sarana pra sarana inklusi pada satuan pendidikan.
7. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian
Agama, Kementerian Hukum, Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian
Sosial, dan BNN agar menjalin Kerjasama untuk memastikan pemenuhan hak
pendidikan bagi anak yang sedang menjalani pembinaan, rehabilitasi, dan
integrasi sosial atas prilaku menyimpang.
8. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian
Agama, dan Kementerian Sosial agar menjalin Kerjasama untuk memastikan anak
yang mengikuti program LKSA, mendapatkan akses pendidikan, sehingga terdata
dalam data nasional peserta didik.
9.
Upaya perlindungan anak
dari segala bentuk kekerasan pada satuan pendidikan perlu mendapatkan perhatian
serius dari pemerintah pusat dan daerah dengan memasifkan program penguatan
kapasitas SDM dalam melakukan pencegahan dan penanganan secara berkelanjutan.
10. Kementerian Pendidikan Dasar dan
Menengah, beserta Kementerian Agama RI perlu melakukan evaluasi kurikulum dan
metodologi pembelajaran guna merumuskan profil lulusan yang menitikberatkan,
penguatan reseliensi (ketahanan) mental, penguatan karakter, kesehatan
mental, sikap spiritual dan sosial berbasis pembiasaan terintegrasi dengan
lingkungan keluarga dan masyarakat;
11. Kementerian Agama RI perlu melakukan
langkah kongkrit dan berdampak dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan
pada lembaga pendidikan keagamaan. Dengan langkah berikut: (1). Kanwil bersama
Kemenag Kota/Kabupaten Membentuk Satgas/Task Force, (2). Satgas
Kanwil/Kemenag Kota/Kab bersama FKPP membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Pada Pesantren, (3) Satgas dan Tim Melakukan; (a) Penguatan Literasi
Perlinduangan Anak di lingkungan pesantren, (b) Menyelenggarakan Bimbingan
Teknis Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Pada Pesantren, (c) melakukan
monitoring dan evaluasi kelembagaan pesantren agar sesuai syarat dan rukun
pesantren, (d) membuka layanan pengaduan pada tingkat daerah dan pesantren, (e)
membangun referral system dengan Dinas terkait pemenuhan hak dan
perlindungan anak. (4). Kanwil dan Kemenag Kab/Kota perlu aktif melakukan
Kerjasama dengan Dinas terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak, (5). Bersama
intensif melakukan pengawasan dan evaluasi berkala.
Di tengah tantangan melemahnya ketahanan
mental anak, lembaga pendidikan adalah rumah kedua bagi anak, maka mutlak
dibutuhkan yang lingkungan aman, nyaman, dan menyenangkan. Lembaga pendidikan
saat ini tidak cukup menjalankan fungsi layanan pendidikan/pembelajaran, tapi
juga harus menguatkan fungsi layanan perlindungan.
Selamat Memperingati Hari Pendidikan
Nasional 2025
Pendidikan adalah Jembatan Emas Menuju Peradaban Memanusiakan Manusia
Surabaya, 02 Mei 2025
Komisioner Komisi Perlindungan Anak
Indonesia
Klaster Pendidikan, Waktu Luang, Budaya,
dan Agama
Dr. Aris Adi Leksono, M.Pd
Komentar
Posting Komentar